BAB II
PEMBAHASAN
A. Shalat Jama’
Shalat jama’ adalah mengerjakan dua shalat fardhu dalam satu waktu . shalat jama’ juga dapat dipahami sebagai shalat yangdigabungkan menjadi satu. shalat jama’ juga merupakan keringanan bagi orang yang sedang dalam perjalanan. Shalat yang boleh dikerjakan dengan cara jama’ adalah shalat zhuhur dengan ashar dan shalat maghrib dengan isya.
Cara melakukan shalat jama’ ada dua macam, yakni shalat fardhu dikerjakan dengan jama’ takdim dan shalat fardu dikerjakan dengan jama’ takhir.
Shalat jama’ takdim
Adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan pada waktu yang awal atau pertama. Misalnya, shalat dzuhur dan asar dikerjakan pada waktu dzuhur atau shalat magrib dan isya dikerjakan pada waktu magrib.
Syarat shalat yang dikerjakan dengan jama’ takdim sebagai berikut:
Dikerjakan dengan mendahulukan shalat yang pertama.
1. Berniat melakukan shalat jama’ pada waktu pertama
2. Berurutan atau tidak diselingi hal lain diluar shalat
3. Ketika melakukan shalat yang kedua masih dalam keadaan diperjalanan.
Sementara itu, niatnya apabila dilafalkan sebagai berikut:
a. niat shalat dzuhur dan asar yang dilakukan dengan cara jama’ takdim
أُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِأربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع العَصْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
“aku menyengaja shalat fardhu dzuhur empat rakaat dijama’ bersama ashar dengan jama’ takdim karana allah ta’ala.
b.niat shalat maghrib dan isya yang dilakukan dengan jama’ takdim
أُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَيْهِ العِشَاءُ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى
“aku menyangaja shalat fardhu maghrib tiga rakaat dijama’ bersama dengan isya dengan jama’ takdim karena allah ta’ala”
Shalat jama’ takhir
Adalah menggabungkan kedua shalat dan dikerjakan pada waktu yang akhir atau kedua. Misalnya shalat dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar atau shalat maghrib dan isya dikerjakan pada waktu isya.
Syarat dari shalat yang dikerjakan dengan jama’ takhir sebagai berikut:
1. Berniat melakukan shalat jama’ takhir pada shalat yang pertama
2. Ketika melakukan shalat yang kedua masih dalam keadaan diperjalan.
Sementara itu niatnya sebagai berikut:
a. niat shalat dzuhur dan asar yang dilakukan dengan cara jama’ takhir
أُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِأربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مع العَصْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
“aku menyengaja shalat fardhu dzuhur empat rakaat dijama’ bersama asar dengan jama’ takhir karena allah ta’ala”
b. niat shalat maghrib dan shalat isya yang dilakukan dengan cara jama’ takhir
أُصَلِّي فَرْضَ المَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ مَجْمُوْعًا اِلَي العِشَاءِ أَدَاءً لِلهِ تَعَالَى
“aku menyengaja shalat fardhu maghrib tiga rakaat dijama’ bersama shalat isya dngan jama’ takhir karena allah ta’ala”
Alasan-alasan diperbolehkannya Shalat Jama’
1. Ketika sedang berpergian seorang muslim diperkenankan untuk menjama’ shalatnya ketika sedang dalam perjalanan dengan syarat kepergiannya itu tidak bertujuan untuk bermaksiat kepada Allah.
2. Dibolehkan menjama’ shalat ketika kondisi cuaca sangat buruk seperti hujan lebat, badai, cuaca yang sangat dingin, banjir atau terjadi Gempa Bumi.
3. Ketika dalam peperangan, Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat dzuhur dengan asar ketika terjadi perang Tabuk
4. Diperkenankan seorang menjama’ shalat walaupun tidak dalam berpergian ketika keperluannya sangat mendesak, tetapi hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan.
B. Shalat Qashar
Qashar artinya meringkas. Maksudnya adalah meringkas shalat empat rakaat (zhuhur, ashar, dan isya) menjadi dua rakaat. Adapun shalat maghrib dan subuh tidak bisa di qashar. Shalat qashar disyariatkan dalam al qur’an dan sunnah.
•
“Dan apabila kamu berpergian dimuka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahayangmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS An-nisa:101).
صَدَ قَةٌ تَصَدَّ قَ اللَّهُ بِهاَ فَا قْبَلُوْا صَدَ قَتَه
“Itu adalah sedekah yang disedekahkan Allah kepada kalian maka terimalah sedekah dari Nya“ (HR. Muslim).
Qashar adalah mendekatkan rakaat shalat yang berjumlah empat menjadi dua rakaat. Shalat yang bisa dipendekkan, menurut kesepakatan ulama, yaitu shalat yang berjumlah empat rakaat saja seperti zhuhur, ashar, dan isya. Bukan subuh dan maghrib.
Karena, jika shalat subuh dipendekkan maka rakaat yang tersisa hanya satu rakaat saja dan itu tidak ada dalam shalat fardhu. Sedangkan jika shalat maghrib dipendekkan yang merupakan shalat ganjil (witir) di sore hari maka akan menjadi hilang jumlah ganjilnya.
Ahmad meriwayatkan dari aisyah ra. “asal wajibnya shalat itu hanya dua rakaat, kecuali maghrib karena ia adalah shalat ganjil di siang hari. Lantas jumlah rakaat itu ditambah ketika sedang menetap dan ditetapkan dalam perjalanan seperti hukum asalnya.”
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perjalanan, yaitu qashar, jama’, mengusap sepatu kulit selama tiga hari, dan dibolehkannya membatalkan puasa di bulan Ramadhan ; keempat hal itu berlaku khusus untuk perjalanan yang panjang.
Pendapat para ahli fiqih mengenai hukum mengqashar shalat terpecah menjadi tiga pendapat ; ada yang bilang wajib, sunnah, ataupun sekedar keringanan yang dipersilahkan bagi musafir untuk memilihnya.
• Menurut Mazhab Hanafi, mengqashar shalat adalah kewajiban disertai niat. Kewajiban bagi musafir disetiap shalat yang empat rakaatnya hanyalah dua rakaat saja dan tidak boleh menambahnya dengan sengaja. Diwajibkan melakukan sujud sahwi jika lupa.
Dalil mereka adalah hadist-hadist kuat, diantaranya hadist aisyah,
فُرِضَتِ الصَلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فَأُ قِرْتُ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيَدُ فِيْ صَلاَةِ الحَضَرِ
“Shalat diwajibkan dua rakaat-dua rakaat maka shalat dalam perjalanan membuktikannya, lalu ditambahkan saat bermukim.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadist ibnu abbas,
فَرَضَ اللهُ الصَّلاَةَ عَلَي لِسَانِ نَبِيِّكُمْ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي
الخَوْفِ رَكْعَتً
“Allah telah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian, saat bermukim empat rakaat dan dalam perjalanan dua rakaat, serta satu rakaat saat kondisi ketakutan [perang].”(HR. Muslim)
• Menurut Mazhab Maliki, pendapatnya yang masyhur dan kuat mengatakan, qashar adalah hukumnya sunnah yang ditetapkan (muakkad), karena Nabi SAW melakukannya. Tidak pernah disebutkan dari beliau selama dalam perjalanannya menyempurnakan jumlah rakaat sama sekali, seperti yang telah disebutkan sebelumnya dalam hadist ibnu umar dan lainnya.
• Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali mengatakan, Qashar merupakan kemudahan yang dibolehkan untuk memilih, maka bagi musafir dipersilahkan untuk menyempurnakan jumlah rakaat ataupun mengqasharnya. Namun, mengqashar shalat itu lebih baik daripada menyempurnakannya secara mutlak, menurut Hambali, karena rasulullah saw selalu melakukannya begitu pula para Khulafaur Rasyidin. Menurut mazhab syafi’i sendiri dalam pendapat yang masyhurnya, mengqashar shalat itu lebih baik dari pada menyempurnakan jumlah rakaat jika di dalam dirinya merasa tidak suka untuk mengqasharnya. Ataupun, jika perjalanan itu sudah mencapai tiga marhalah, sekitar 96 km menurut mazhab hanafi untuk mengikuti sunnah dan keluar dari perdebatan bagi ulama yang mewajibkannya seperti abu hanifah. Akan tetapi, berpuasa dalam perjalanan itu lebih baik daripada berbuka jika tidak membahayakan dirinya, sebagaimana firman Allah “Dan berpuasalah lebih baik bagimu.” (al-Baqarah : 184)
Sebab-sebab disyariatkannya shalat qashar
Sebab disyariatkannya shalat qashar yaitu perjalanan yang panjang dan dibolehkan menurut mayoritas ulama selain Hanafi. Berbicara tentang perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat adalah yang dapat mengubah hukum syariat serta memerlukan pembahasan empat hal ; yaitu jarak diperbolehkannya mengqashar shalat, jenis perjalanannya sehingga shalat boleh diqashar; apakah dalam perjalanan yang dibolehkan, atau perjalanan apa saja, lalu tempat dimulainya seorang musafir untuk mengqashar shalat (dihitung dari awal perjalanan), dan terakhir ukuran waktu dibolehkannya mengqashar shalat bila musafir sampai menetap di suatu tempat.
Pertama, jarak dibolehkannya mengqahar shalat
Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam menentukan jarak perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat. Hanafi mengatakan diperbolehkannya mengqashar shalat itu minimal berjarak tiga hari tiga malam Perjalanan pada hari-hari terpendek dalam setahun di negara-negara beriklim sedang, dengan perjalanan unta dan berjalan kaki, serta tidak disyariatkan harus berjalan setiap hari sampai malam, tetapi berjalan setiap hari mulai dari pagi hari hingga tengah hari (Zhuhur). Perumpamaannya adalah perjalanan sedang dengan istirahat cukup. Namun, jika seorang berjalan lebih cepat dan memotong jarak tersebut sehingga lebih singkat dari jarak seharusnya seperti pada sarana transportasi modern maka dibolehkan untuk mengqashar shalat.
Jarak tiga kali marhalah dekat dengan ukuran tiga hari perjalanan, karna biasanya perjalanan setiap hari itu dilakukan dalam satu marhalah (periode). Khususnya, pada hari-hari terpendek dalam satu tahun. Tidak di perbolehkan untuk mengqashar shalat bila kurang dari jarak ini, sebagaimana tidak diperbolehkan menggunakan ukuran Farsakh menurut mazhab Hanafi dalam pendapat yang dipegang dan shahih. Dalil meraka adalah menganalogikan dengan lamanya batas waktu mengusap sepatu kulit (khuf) yang ditetapkan oleh sunnah, yaitu :
يَسْمَحُ المُقِيْمُ كَمَالِ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ وَالْمُسَافِرُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهَا
“Seorang yang bermukim boleh mengusap sepatunya sehari dan semalam penuh, sementara musafir tiga hari-tiga malam.”(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Kedua, jenis perjalanan yang dibolehkan mengqashar shalat
Mazhab Hanafi mengatakan dibolehkan mengqashar shalat disetiap perjalanan, baik itu perjalanan dengan niat menjalankan ibadah, perjalanan yang dibolehkan, ataupun perjalanan maksiat maka dibolehkan mengqashar shalat bagi perampok dan sejenisnya yang bermaksiat di dalam perjalanannya karena keburukan yang bersinggungan dengan sesuatu yang disyariatkan tidak serta-merta menggugurkan hal yang disyariatkan.
Menurut mayoritas ulama selain mazhab Hanafi, tidak boleh mendapat kemudahan secara khusus dalam perjalanan seperti shalat qashar, jama’, berbuka puasa, mengusap sepatu kulit selama tiga hari, dan shalat diatas kendaraan jika perjalanannya untuk maksiat seperti hamba sahaya yang lari dari tuannya.
Menurut Mazhab Maliki, menyebutkan bahwa dimakruhkan qashar bagi orang-orang yang lalai dengan perjalanannya. Menurut imam nawawi as-syafi’i, jika seorang melakukan perjalanan yang dibolehkan lalu ia membuat perjalanannya menjadi maksiat maka ia tidak mendapat kemudahan.
Ketiga, tempat dimulainya seorang musafir boleh melakukan qashar sejak perjalanan pertama
Niat untuk melakukan perjalanan tidak cukup untuk mulai mengqashar shalat sebelum benar-benar melakukan perjalanan dan melewati batas sebuah daerah. Para ahli fikih sepakat bahwa awal dimulainya perjalanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat dan kemudahan lainnya yaitu ketika seorang musafir keluar dari deretan rumah-rumah yang ada di desanya yang menjadi tempat keluar dan memposisikan rumah-rumah itu berada di belakang punggungnya.
Keempat, batas waktu untuk mengqashar shalat bila seorang musafir bermukim di suatu tempat
Menurut Hanafi mengatakan, seorang musafir dianggap bermukim dan dilarang mengqashar shalat bila ia telah berniat untuk bermukim di sebuah daerah selama lima belas hari atau lebih. Dalil mereka adalah analogi dengan lamanya waktu suci bagi perempuan, karena keduanya waktu yang diwajibkan untuk kembali kepada waktu aslinya.
Menurut Maliki dan Syafi’i, jika seorang musafir berniat untuk menetap di suatu tempat selama empat hari ia harus menyempurnakan shalatnya, karena Allah SWT membolehkan mengqashar shalat dengan syarat melakukan perjalanan.
Menurut mazhab Hambali, jika seorang musafir berniat untuk mukim lebih dari empat hari atau lebih dari dua puluh kali shalat fardhu maka ia harus menyempurnakan shalat.
Mazhab Syafi’i mengatakan, musafir yang sedang menyelesaikan suatu urusan dan tidak kunjung selesai maka dibolehkan untuk mengqashar shalat selama delapan belas hari selain dua hari saat masuk dan keluar dari suatu daerah. Karena, Rasulullah SAW pernah bermukim di mekkah saat menaklukan kota mekkah untuk mengikuti perang Hawazin, dan beliau mengqashar shalatnya.
Syarat-syarat shalat qashar
Menurut Mazhab Hanafi, dibolehkan mengqashar bagi siapapun yang berniat melakukan perjalanan dan bermaksud menuju tempat tertentu meskipun ia bermaksiat dalam perjalanannya selama ia telah melewati rumah-rumah di daerah yang menjadi tempat tinggalnya, melewati bangunan yang menyatu dengan halaman desa. Halaman desa yang dimaksud adalah tempat yang digunakan untuk keperluan desa, seperti untuk pacuan kuda atau mengubur mayat.
Menurut Mazhab Maliki, syarat untuk melakukan qashar itu ada lima; Jarak perjalanan adalah empat puluh delapan mil, menurut pendapat yang masyhur. Hendaknya berniat sejak berangkat untuk menempuh perjalanan tanpa ragu. hendaknya bertujuan ke suatu tempat tertentu dan dibolehkan (bukan tempat maksiat). melewati daerah dan bangunan-bangunan, kebun-kebun yang ditinggali, yang bersambung dengannya. serta tidak boleh berniat di sela-sela perjalanannya untuk bermukim selama empat hari-empat malam.
Menurut mazhab Syafi’i, syarat mengqashar shalat yaitu; jarak perjalanan adalah dua marhalah yaitu perjalanan sekitar satu hari-satu malam dengan waktu yang sama; kemudian seorang musafir yang hendak bepergian harus bermaksud menuju tempat tertentu sejak pertama berangkat agar ia mengetahui jarak yang ditempuh untuk menentukan apakah harus mengqashar shalat ataukah tidak; hendaknya perjalanan itu dibolehkan (mubah), tidak dibolehkan mengqashar shalat bagi orang yang bermaksiat dalam perjalanannya; tidak dibolehkan juga mengqashar shalat bagi istri yang durhaka kepada suaminya; kemudian seseorang harus mengetahui bolehnya mengqashar shalat, jika seseorang tidak mengetahui bolehnya mengqashar shalat maka shalatnya tidak sah karena dianggap bermain-main; berikutnya berniat untuk melakukan qashar ketika takbiratul ihram untuk shalat, dan menghindari dari hal-hal yang membatalkan niat qashar; hendaknya seorang musafir tidak bermakmum meskipun sebentar kepada orang yang menyempurnakan shalatnya, jika bermakmum dengan orang itu maka ia diharuskan menyempurnakan shalatnya; dan yang terakhir disyaratkan seorang musafir dalam kondisi sebagai musafir di semua shalatnya.
Mazhab Hambali mengatakan, syarat qashar yaitu; jika jarak perjalanannya sekitar empat puluh delapan mil Haasyimiyyah, baik itu perjalanan wajib atau perjalanan yang dibolehkan. Hendaknya musafir melewati rumah-rumah yang ada di kampungnya, lalu dijadikannya berada di belakang punggungnya seperti berpisah dalam urf (kebiasaan); hendaknya musafir berniat menempuh perjalanan itu. niat musafir itu dianggap ketika telah menempuh perjalanan, bukan sampai tujuan; hendaknya musafir berniat mengqashar ketika melakukan shalat pertama; lalu musafir tidak bermakmum kepada orang yang mukim, orang yang ragu-ragu dalam perjalanannya, atau juga kepada orang yang diharuskan untuk mengulangi shalatnya; terakhir, kondisinya tetap sebagai seorang musafir di semua shalatnya, seperti pendapat syafi’i.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar